PENGATURAN DAN
PENGAWASAN BANK OLEH BANK INDONESIA
Pengaturan
Dan Pengawasan Bank Secara Umum
Secara umum, peranan Bank sentral
sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sisitem perbankan yang
sehat dan efisien. Perlu di wujudkannya sisitem perbankan yang sehat dan
efisien itu, karna dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam
pembangunan ekonomi suatu Negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral
mempunyai peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian
yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan
serta membahayakan kehidupan perekonomian.[1]
Tujuan umum dari pengaturan dan
pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi
tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan
baik, berkembang secara wajar, dalam arti disatu pihak memerhatikan factor
risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya
manusia.
Berkaitan dengan itu, bahwa dunia
perbankan memiliki hubungan yang sangat erat dengan maju mundurnya perekonomian
suatu Negara. Jika sistem perbankan suatu negara sehat, maka ia akan menunjang
pembangunan ekonomi. Sebaliknya, apabila sistem perbankan suatu Negara tidak
sehat akan berdampak tidak baik bagi pembangunan ekonomi.
Oleh karena itu, terwujudnya suatu
sistem perbankan yang sehat perlu terus dilakukan secara berkesinambungan.
Lembaga yang bertanggung jawab dalam mewujudkan sistem perbankan yang sehat itu
adalah Bank Sentral.
Kewenangan Bank
Sentral dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank adalah sebagai alat atau
saranauntuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, yang menjamin dan
memastikan dilaksanakannya segala peraturan perundang-undangan yang terkait
dalam penyelenggaraan usaha bank untuk bank yang bersangkutan.
OTORITAS JASA KEUANGAN
A.
LATAR
BELAKANG PEMBENTUKKAN UNDANG-UNDANG OTORITAS JASA KEUANGAN
Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya
kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan
sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar
subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu,
adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan diberbagai
subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan
interaksi antar lembaga jasa keuangan didalam sistem keuangan. Banyaknya
permasalahan lintas sektoral disektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral
hazard, yang belum optimalnya perlindungan komsumen jasa keuangan, dan
terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya
pembentukan lembaga pengawasan disektor jasa keuangan yang terintegrasi. [2]
Rimawan mengatakan bahwa pengawasan di perlukan karena adanya
potensi moral hazard (penyelewengan/penyalahgunaan) oleh para pelaku
ekonomi yang tentunya berdampak negatif terhadap perekonomian. Teori ekonomi
menunjukkan bahwa moral hazard disebabkan
oleh adanya asymmetric information. Assymetric information menyebabkan
dua hal, yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan
memilih). Assymetric information adalah kondisi dimana informasi tidak
tersebar merata antar pelaku ekonomi. [3]
Dari penjelasan tersebut, maka dibutuhkan sebuah lembaga keuangan
yang mampu menjadi pengatur dan pengawas pada setiap sektor jasa keuangan yang
mencakup diberbagai bidang. Seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Hal ini perlu
dilakukan guna terorganisirnya semua sektor dilembaga keuangan dan dapat
mencapai stabilitas ekonomi suatu negara.
Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan disebut dengan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa
keuangan tersebut dapat berjalan dengan baik secara transparan, adil, teratur,
akuntabel, serta dapat memberikan stabilitas ekonomi yang dapat memudahkan
antar pelaku ekonomi dalam kehidupannya sehingga mampu memberikan kesejahteraan
sosial masyarakat.
Hamud M. Belfas mengemukakan, bahwa alasan didirikannya OJK
disebabkan pengawasan atas industri jasa keuangan dengan struktur seperti
sekarang dianggap sudah tidak memadai. Dengan adanya OJK, pengawasan atas semua
industri jasa keuangan akan disatukan ke dalam satu atap, yaitu perbankan,
pasar modal, asuransi, dan pensiun, lembaga keuangan non bank. Undang-undang
hanya mengecualikan industri perdagangan berjangka saja dari pengawasan OJK. Selain
itu, latar belakang didirikannya OJK ini juga karena makin rumitnya produk
keuangan serta pemasaran atas produk ini dilakukan lintas industri seperti
produk pasar modal (seperti reksadana) ditawarkan juga oleh bank atau produk
asuransi juga ditawarkan bank (bancassurance).[4]
LANDASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
1.
Landasan
Yuridis
·
Undang-Undang
No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
·
Pasal
34 Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Yang berbunyi :
§ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengab undang-undang.
§ Pembentukkan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
2.
Landasan
Sosiologis
Peran
pengaturan dan pemgawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk
menciptakan efisiensi, persainagn yang sehat, perlindungan konsumen, serta
memelihara mekanisme pasar yang sehat.
3.
Landasan
Filosofis
Dapat
dikemukakan bahwa OJK fibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa
keuangan didalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil.
Akhirnya,
setelah melalui proses legislasi oleh DPR dan pemerintah sejak tahun 2010, pada
tanggal 22 November 2011 disetujui dan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253.[5]
B.
PENGERTIAN
OTORITAS JASA KEUANGAN
OJK
adalah lembaga baru yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011.
Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan
secara terpadu.
Secara
yuridis, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa, “Otoritas
Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain, yanng mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini”. [6]
C.
STATUS
OTORITAS JASA KEUANGAN
Menurut
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU OJK dikatakan bahwa, “OJK adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang
ini. [7]
D.
ASAS-ASAS
OTORITAS JASA KEUANGAN
Dalam
Naskah Akademik Pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan dikatakan bahwa
dalam melaksanakan tugas dan wewenang OJK harus berlandaskan kepada asas-asas
berikut ini :
1.
Asas
kepastian hukum
2.
Asas
kepentingan umum
3.
Asas
keterbukaan
4.
Asas
profesionalitas
5.
Asas
integritas
6.
Asas
akuntabilitas
E.
TUJUAN,
FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN
Mengenai
tujuan OJK dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK. Selengkapnya pasal 4
berbunyi sebagai berikut : [8]
“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan didalam
sektor jasa keuangan:
a.
Terselenggara
secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b.
Mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c.
Mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarkat”.
Adapun
mengenai fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK. Yang berbunyi : [9]
“OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sejtor jasa keuangan”.
Lebih
lanjut ketentuan Pasal 6 UU OJK menyatakan bahwa: [10]
“OJK
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.
Kegiatan
jasa keuangan disektor Perbankan;
b.
Kegiatan
jasa keuangan disektor Pasar modal; dan
c.
Kegiatan
jasa keuangan disektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya”.
Ketentuan
pasal 7 UU OJK menyatakan bahwa:
“Untuk
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan disektor perbankan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:[11]
a.
Pengaturan
dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1)
Perizinan
untuk pendirian bank, pembukuan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja,
kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan
akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;dan
2)
Kegiatan
usaha bank, antara lain sumber dana penyediaan dana, produk hibridasi, dan
aktivasi dibidang jasa;
b.
Pengaturan
dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1)
Likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas
maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan
bank;
2)
Laporan
bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3)
Sistem
informasi debitur;
4)
Pengujian
kreditur (credit testing); dan
5)
Standar
akuntansi bank.
c.
Pengaturan
dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi :
1)
Manajemen
resiko;
2)
Tata
kelola bank;
3)
Prinsip
mengenal nasabah dan anti pencucian uang;
4)
Pencegahan
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5)
Pemeriksaan
bank”.
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa OJK merupakan lembaga
pengawas keuangan yang mempunyai fungsi, tugas, tujuan dan wewenang tersendiri
agar dapat memaksimalkan hasil sesuai dengan tujuan untuk dapat menjadi sebuah
lembaga yang adil, transparan, akuntabel, tertib, teratur, serta mewujudkan
sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan yang dapat memberikan kenyamanan
untuk semua masyarakat. Baik untuk bank itu sendiri maupun untuk nasabahnya.
F.
DEWAN
KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN
Menurut ketentuan pasal 1 angka 2 UU OJK ditentukan bahwa, “Dewan
Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial”. [12]
Yang dimaksud dengan “bersifat kolektif”
adalah bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner diputuskan
secara bersama-sama oleh anggota dewan komisioner. Sedangkan “kolegial” adalah
bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner berdasarkan musyawarah
untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan diantara anggota
dewan komisioner.
Dewan komisioner OJK terdiri dari sembilan anggota dengan susunan
sebagai berikut:
1)
Ketua
merangkap anggota
2)
Wakil
ketua sebagai ketua komite etik merangkap anggota
3)
Kepala
eksekutif pengawas perbankan merangkap anggota
4)
Kepala
eksekutif pengawas pasar modal merangkap anggota
5)
Kepala
eksekutif pengawas perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga
jasa keuangan lainnya merangkap anggota
6)
Seorang
ketua dewan audit merangkap anggota
7)
Seorang
anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan komsumen
8)
Seorang
anggota ex-officio dari Bank Indonesia, dan
9)
Seorang
anggota ex-officio dari kementrian ke
DEWAN PENGAWAS BANK SYARI’AH
Peranan
Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di
lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan DSN MUI
No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th.
2000-2005 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :
1.
Melakukan pengawasan secara
periodik pada lembaga keuangan syariah,
2.
Mengajukan usul-usul pengembangan
lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada
DSN
3.
Melaporkan perkembangan produk dan operasional
lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali
dalam satu tahun anggaran
4.
Merumuskan
permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
Untuk
melakukan pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan
yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam
modern. Kesalahan besar perbankan syari’ah saat ini adalah mengangkat DPS
karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena
keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syari’ah. Masih banyak anggota DPS
yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi
keuangan Islam seperti akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran
strategis lainnya sangat tidak optimal. DPS juga harus memahami ilmu yang
terkait dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter misalnya, dampak
bunga terhadap investasi, produksi, unemployment.
Dampak bunga
terhadap inflasi dan volatilitas currency, Dengan memahami ini,
maka tidak ada lagi ulama yang menyamakan margin jual beli murabahah dengan
bunga. Tetapi faktanya, masih banyak ulama yang tidak bisa membedakan margin murabahah
dengan bunga, karena minimnya ilmu yang mereka miliki. Karena pengangkatan DPS
bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi
pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah
menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.Harus diakui, bahwa perbankan
syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’ah.
Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja
pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan didasarkan atas
kinerka keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi yang oportunis
untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada
bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya,
tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan
yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah.Yang juga mengherankan
lagi adalah, sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syar’ah Islam di bank
syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS,
sehingga DPS baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah setelah
mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank
syari’ah.
Bank syariah
harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah,
mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara pada
kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah.Bank
Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang
dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya. (Bisnis
Indonesia, 12/2/04). Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan,
“Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia,
masih ditemui berbagai sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan
prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah. Hal itu diungkapkannya dalam
seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-Fatwa MUI di Jakarta, 10
Pebruari 2004. Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut,
sampai-sampai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi
Agung mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen
bank syariah terkait. Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim,
dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang langsung saya hadiri.
Deputi Gubernur BI itu dalam orasinya ia menuliskan, Sejak dini Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS) dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting
agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap
prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap
penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank
syari’ah dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip
syari’ah.(28/5/05) Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS
sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah agar tetap
memenuhi prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan
pengawasan terhadap bank syari’ah.
Kelangkaan ulama integratif sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus
menguasai fiqh mumalah bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh,
tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan
perbankan Islam modern. Tapi
kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan, karena kita
kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut
sekaligus. Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar
negeri. Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk DPS, juga
mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan
ekonomi keuangan modern. Seorang DPS bank syariah misalnya, harus
mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur dan
terminologi bank dan LKS, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi
sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik
tentang fikih muamalahþ. þKarena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus
menangani shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu
ekonomi keuangan.
Dengan ilmu
yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan
menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah di Indonesia, ulama
muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Ekonomi Islam yang
mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini
adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu
pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi
dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai
bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan
dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma.
Krisis
ekonomi Indonesia sampai saat ini masih berlangsung dan belum menunjukkan
tanda-tanda untuk segera pulih. APBN kita masih dikuras dalam jumlah besar
untuk pengeluaran membayar bunga hutang baik hutang luar negeri maupun bunga
hutang dalam negeri dalam bentuk bunga obligasi rekap bank konvensional.
Seharusnya dana APBN ratusan triliun digunakan untuk pemberdayaan rakyat
miskin, tetapi justru untuk mensubsisi bank-bank ribawi melalui bunga rekap
BLBI dan SBI. Ini terjadi karena pemerintah telah terperangkap kepada sistem
riba yang merusak perekonomian bangsa. Menaiknya harga BBM semakin
memperparah penderitaan rakyat Indonesia dan semakin membengkakkan angka
kemiskinan. Inflasi meningkat secara tajam. Semua para ekonom hebat di negeri
ini meprediski infasi hanya 8,7 %, tetapi kenyataannya melejit di luar dugaan,
lebih dari 18 %. Ekonom hebat tersebut keliru besar dalam memprediksi.
Angka inflasi 18 % merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Sebagai indikator penting bagi perekonomian negara, maka inflasi wajib
dipandang secara kritis. Sebab, inflasi yang melonjak tinggi bermakna gong
marabahaya bagi ekonomi rakyat.
Pada saat ini,
tercatat jika sejak Maret 2005, jumlah utang Indonesia mencapai Rp1,282
triliun. Angka fantastis nan bombastis tersebut, setara dengan 52 % dari produk
domestik bruto. Komposisi utang itu ialah 49% persen utang luar negeri. Sementara
51 persen utang dalam negeri.Selain problem hutang Indonesia yang amat
besar, ancaman terhadap kesinambungan fiskal dan pembiayaan pembangunan juga
menjadi problem besar.
Demikian pula
buruknya infrastruktur, rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi,
terpuruknya sektor riel, menurunnya daya saing, serta akan masih meningkatnya
angka pengangguran akibat kenaikan BBM yang lalu.APBN kita masih berada pada
titik yang kritis, sebab faktor eksternal seperti naiknya harga minyak,
bisa membuat beban APBN membengkak dan memperbesar defisit APBN. akibat
ikut membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengeluaran pemerintah
yang terkait dengan luar negeri. Belum lagi ancaman depresiasi nilai
rupiah yanag selalu membayang-bayangi.
Keterpurukan ekonomi
Indoiensias juga ditandai oleh masih belum bergairahnya sektor riil akibat
lumpuhnya fungsi intermediasi perbankan konvensional. LDR Bank konvensional
masih belum optimal bahkan masih jauh, yaitu berkisar di angka 50an
%. Lain lagi NPL 2 bank konvensional raksasa yang semakin meningkat .
Peningkatan NPL (kredirt macet) tersebut telah berada pada titik yang
membahayakan, yaitu 24 & dan 20 %. Inilah kondisi bank-bank ribawi, LDR
rendah sementara NPL tinggi. Realitas ini berbeda dengan bank syariah, FDR
tingi, NPF rendah. Sehingga mendorong pertumbuhan sektor riil. Sementara bank
konvensional sebaliknya.
Kesimpulannya, ekonomi
Indonesia benar-benar terpuruk dan terburuk di bawah sistem ekonomi
kapitalisme. Indonesia hanya unggul atas negara-negara Afrika
seperti Malawi, Uganda, Kenya, Zambia, Mozambik, Zimbabwe,Mali, Angola dan
Chad. Peringkat daya saing pertumbuhan (growth competitiveness index)
Indonesia, nyaris sama dengan Ethiopia yang pernah hancur-lebur oleh perang
serta wabah kelaparan.
TUGAS DAN
TANGGUNG JAWAB DEWAN PENGAWAS SYARI’AH[13]
Dewan Pengawas Syariah (DPS) mengawasi
operasional BSM secara independen. DPS ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN), sebuah badan di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seluruh pedoman
produk, jasa layanan dan operasional bank telah mendapat persetujuan DPS untuk
menjamin kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah:
1. Memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai
dengan Prinsip Syariah
2. Menilai
dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk
yang dikeluarkan Bank
3. Mengawasi
proses pengembangan produk baru Bank
4. Meminta
fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum ada
fatwanya
5. Melakukan
review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank
6. Meminta
data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam
rangka pelaksanaan tugasnya.
[1]Hermansyah, Hukum perbankan nasional Indonesia,edisi revisi,
(Jakarta:Kencana, 2009), hlm.175
[2] Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua”. Kencana.
Jakarta. 2011. hlm. 214
[3] Ibid.hlm. 215
[4] Ibid.hlm.218
[5] Ibid.hlm.220
[6] Ibid.hlm.221
[7] Ibid.hlm.221
[8] Ibid.hlm.225
[9] Ibid.hlm.225
[10] Ibid.hlm.225
[11] Ibid.hlm.225
[12] Ibid.hlm.228