Mr.Crab SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Sabtu, 03 Januari 2015

Lembaga pengawasan




PENGATURAN DAN PENGAWASAN BANK OLEH BANK INDONESIA

Pengaturan Dan Pengawasan Bank Secara Umum
            Secara umum, peranan Bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sisitem perbankan yang sehat dan efisien. Perlu di wujudkannya sisitem perbankan yang sehat dan efisien itu, karna dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi suatu Negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral mempunyai peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian.[1]
            Tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dalam arti disatu pihak memerhatikan factor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.
            Berkaitan dengan itu, bahwa dunia perbankan memiliki hubungan yang sangat erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu Negara. Jika sistem perbankan suatu negara sehat, maka ia akan menunjang pembangunan ekonomi. Sebaliknya, apabila sistem perbankan suatu Negara tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi pembangunan ekonomi.
            Oleh karena itu, terwujudnya suatu sistem perbankan yang sehat perlu terus dilakukan secara berkesinambungan. Lembaga yang bertanggung jawab dalam mewujudkan sistem perbankan yang sehat itu adalah Bank Sentral.
Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank adalah sebagai alat atau saranauntuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, yang menjamin dan memastikan dilaksanakannya segala peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank untuk bank yang bersangkutan.


OTORITAS JASA KEUANGAN

A.    LATAR BELAKANG PEMBENTUKKAN UNDANG-UNDANG OTORITAS JASA KEUANGAN

Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan diberbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan didalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral disektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, yang belum optimalnya perlindungan komsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan disektor jasa keuangan yang terintegrasi. [2]
Rimawan mengatakan bahwa pengawasan di perlukan karena adanya potensi moral hazard (penyelewengan/penyalahgunaan) oleh para pelaku ekonomi yang tentunya berdampak negatif terhadap perekonomian. Teori ekonomi menunjukkan bahwa  moral hazard disebabkan oleh adanya asymmetric information. Assymetric information menyebabkan dua hal, yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan memilih). Assymetric information adalah kondisi dimana informasi tidak tersebar merata antar pelaku ekonomi. [3]
Dari penjelasan tersebut, maka dibutuhkan sebuah lembaga keuangan yang mampu menjadi pengatur dan pengawas pada setiap sektor jasa keuangan yang mencakup diberbagai bidang. Seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Hal ini perlu dilakukan guna terorganisirnya semua sektor dilembaga keuangan dan dapat mencapai stabilitas ekonomi suatu negara.
Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan tersebut dapat berjalan dengan baik secara transparan, adil, teratur, akuntabel, serta dapat memberikan stabilitas ekonomi yang dapat memudahkan antar pelaku ekonomi dalam kehidupannya sehingga mampu memberikan kesejahteraan sosial masyarakat.
Hamud M. Belfas mengemukakan, bahwa alasan didirikannya OJK disebabkan pengawasan atas industri jasa keuangan dengan struktur seperti sekarang dianggap sudah tidak memadai. Dengan adanya OJK, pengawasan atas semua industri jasa keuangan akan disatukan ke dalam satu atap, yaitu perbankan, pasar modal, asuransi, dan pensiun, lembaga keuangan non bank. Undang-undang hanya mengecualikan industri perdagangan berjangka saja dari pengawasan OJK. Selain itu, latar belakang didirikannya OJK ini juga karena makin rumitnya produk keuangan serta pemasaran atas produk ini dilakukan lintas industri seperti produk pasar modal (seperti reksadana) ditawarkan juga oleh bank atau produk asuransi juga ditawarkan bank (bancassurance).[4]

LANDASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

1.      Landasan Yuridis
·         Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
·         Pasal 34 Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Yang berbunyi :
§  Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengab undang-undang.
§  Pembentukkan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
2.      Landasan Sosiologis
Peran pengaturan dan pemgawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persainagn yang sehat, perlindungan konsumen, serta memelihara mekanisme pasar yang sehat.
3.      Landasan Filosofis
Dapat dikemukakan bahwa OJK fibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

Akhirnya, setelah melalui proses legislasi oleh DPR dan pemerintah sejak tahun 2010, pada tanggal 22 November 2011 disetujui dan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253.[5]

B.     PENGERTIAN OTORITAS JASA KEUANGAN

OJK adalah lembaga baru yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011. Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu.
Secara yuridis, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yanng mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. [6]

C.     STATUS OTORITAS JASA KEUANGAN

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU OJK dikatakan bahwa, “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. [7]







D.    ASAS-ASAS OTORITAS JASA KEUANGAN

Dalam Naskah Akademik Pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang OJK harus berlandaskan kepada asas-asas berikut ini :
1.      Asas kepastian hukum
2.      Asas kepentingan umum
3.      Asas keterbukaan
4.      Asas profesionalitas
5.      Asas integritas
6.      Asas akuntabilitas


E.     TUJUAN, FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN

Mengenai tujuan OJK dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK. Selengkapnya pasal 4 berbunyi sebagai berikut :  [8]

“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan:
a.       Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b.      Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c.       Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarkat”.

Adapun mengenai fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK. Yang berbunyi : [9]

“OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sejtor jasa keuangan”.



Lebih lanjut ketentuan Pasal 6 UU OJK menyatakan bahwa: [10]
“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan disektor Perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan disektor Pasar modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan disektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya”.

Ketentuan pasal 7 UU OJK menyatakan bahwa:
“Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan disektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:[11]
a.       Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1)      Perizinan untuk pendirian bank, pembukuan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;dan
2)      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivasi dibidang jasa;
b.      Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1)      Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2)      Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3)      Sistem informasi debitur;
4)      Pengujian kreditur (credit testing); dan
5)      Standar akuntansi bank.
c.       Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi :
1)      Manajemen resiko;
2)      Tata kelola bank;
3)      Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;
4)      Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5)      Pemeriksaan bank”.


Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa OJK merupakan lembaga pengawas keuangan yang mempunyai fungsi, tugas, tujuan dan wewenang tersendiri agar dapat memaksimalkan hasil sesuai dengan tujuan untuk dapat menjadi sebuah lembaga yang adil, transparan, akuntabel, tertib, teratur, serta mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan yang dapat memberikan kenyamanan untuk semua masyarakat. Baik untuk bank itu sendiri maupun untuk nasabahnya.

F.                  DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

Menurut ketentuan pasal 1 angka 2 UU OJK ditentukan bahwa, “Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial”. [12] Yang dimaksud dengan “bersifat kolektif”  adalah bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner diputuskan secara bersama-sama oleh anggota dewan komisioner. Sedangkan “kolegial” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan diantara anggota dewan komisioner.
Dewan komisioner OJK terdiri dari sembilan anggota dengan susunan sebagai berikut:
1)      Ketua merangkap anggota
2)      Wakil ketua sebagai ketua komite etik merangkap anggota
3)      Kepala eksekutif pengawas perbankan merangkap anggota
4)      Kepala eksekutif pengawas pasar modal merangkap anggota
5)      Kepala eksekutif pengawas perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya merangkap anggota
6)      Seorang ketua dewan audit merangkap anggota
7)      Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan komsumen
8)      Seorang anggota ex-officio dari Bank Indonesia, dan
9)      Seorang anggota ex-officio dari kementrian ke



DEWAN PENGAWAS BANK SYARI’AH
Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan DSN MUI  No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th. 2000-2005  bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :

1.                          Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,
2.                          Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN          
3.                          Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran
4.                          Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern.  Kesalahan besar perbankan syari’ah saat ini adalah mengangkat DPS karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syari’ah. Masih banyak anggota DPS yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam seperti akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak optimal.  DPS juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter misalnya, dampak bunga terhadap investasi, produksi, unemployment.
Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas currency,   Dengan memahami ini, maka tidak ada lagi ulama yang menyamakan margin jual beli murabahah dengan bunga. Tetapi faktanya, masih banyak ulama yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan bunga, karena minimnya ilmu yang mereka miliki. Karena pengangkatan DPS bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.Harus diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’ah. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan  didasarkan atas kinerka keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi  yang oportunis untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan  oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah.Yang juga mengherankan lagi adalah, sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syar’ah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS, sehingga DPS baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah  setelah mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank syari’ah.
Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah.Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya. (Bisnis Indonesia, 12/2/04). Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah. Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-Fatwa MUI di Jakarta, 10 Pebruari 2004. Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut, sampai-sampai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi Agung mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait. Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang langsung saya hadiri. Deputi Gubernur BI itu  dalam orasinya ia menuliskan, Sejak dini Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)  dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting  agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank syari’ah dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip syari’ah.(28/5/05) Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah  agar tetap memenuhi prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syari’ah.
Kelangkaan ulama integratif sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mumalah bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus. Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk DPS, juga mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan  ekonomi keuangan modern. Seorang DPS bank syariah misalnya,  harus mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur dan terminologi bank dan LKS, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik tentang fikih muamalahþ. þKarena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi keuangan.
Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu  pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma.
Krisis ekonomi  Indonesia sampai saat ini masih berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda untuk segera pulih. APBN kita masih dikuras dalam jumlah besar untuk pengeluaran membayar bunga hutang baik hutang luar negeri maupun bunga hutang dalam negeri dalam bentuk bunga obligasi rekap bank konvensional. Seharusnya dana APBN ratusan triliun digunakan untuk pemberdayaan rakyat miskin, tetapi justru untuk mensubsisi bank-bank ribawi melalui bunga rekap BLBI dan SBI. Ini terjadi karena pemerintah telah terperangkap kepada sistem riba yang merusak perekonomian bangsa.  Menaiknya harga BBM semakin memperparah penderitaan  rakyat Indonesia dan semakin membengkakkan angka kemiskinan. Inflasi meningkat secara tajam. Semua para ekonom hebat di negeri ini meprediski infasi hanya 8,7 %, tetapi kenyataannya melejit di luar dugaan, lebih dari 18 %. Ekonom hebat tersebut keliru besar dalam memprediksi.  Angka inflasi 18 % merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir. Sebagai indikator penting bagi perekonomian negara, maka inflasi wajib dipandang secara kritis. Sebab, inflasi yang melonjak tinggi bermakna gong marabahaya bagi ekonomi rakyat.
Pada saat ini, tercatat jika sejak Maret 2005, jumlah utang Indonesia mencapai Rp1,282 triliun. Angka fantastis nan bombastis tersebut, setara dengan 52 % dari produk domestik bruto. Komposisi utang itu ialah 49% persen utang luar negeri. Sementara 51 persen utang dalam negeri.Selain  problem hutang Indonesia yang amat besar, ancaman terhadap kesinambungan fiskal dan pembiayaan pembangunan juga menjadi problem besar.
Demikian pula buruknya infrastruktur, rendahnya investasi dan pertumbuhan  ekonomi, terpuruknya sektor riel, menurunnya daya saing, serta akan masih meningkatnya angka pengangguran akibat kenaikan BBM yang lalu.APBN kita masih berada pada titik yang kritis, sebab faktor eksternal seperti naiknya  harga minyak, bisa membuat  beban APBN membengkak dan memperbesar defisit APBN. akibat ikut membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengeluaran pemerintah yang terkait dengan  luar negeri. Belum lagi ancaman depresiasi nilai rupiah yanag selalu membayang-bayangi.
Keterpurukan ekonomi Indoiensias juga ditandai oleh masih belum bergairahnya sektor riil akibat lumpuhnya fungsi intermediasi perbankan konvensional. LDR Bank konvensional masih belum optimal bahkan masih jauh, yaitu  berkisar di angka 50an  %. Lain lagi NPL 2 bank konvensional raksasa yang semakin meningkat . Peningkatan NPL (kredirt macet) tersebut telah berada pada titik yang membahayakan, yaitu 24 & dan 20 %. Inilah kondisi bank-bank ribawi, LDR rendah sementara NPL tinggi. Realitas ini berbeda dengan bank syariah, FDR tingi, NPF rendah. Sehingga mendorong pertumbuhan sektor riil. Sementara bank konvensional sebaliknya.
Kesimpulannyaekonomi Indonesia benar-benar terpuruk dan terburuk di bawah sistem ekonomi kapitalisme.  Indonesia hanya  unggul atas negara-negara Afrika seperti Malawi, Uganda, Kenya, Zambia, Mozambik, Zimbabwe,Mali, Angola dan Chad. Peringkat daya saing pertumbuhan (growth competitiveness index) Indonesia, nyaris sama dengan Ethiopia yang pernah hancur-lebur oleh perang serta wabah kelaparan.

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB DEWAN PENGAWAS SYARI’AH[13]
Dewan Pengawas Syariah (DPS) mengawasi operasional BSM secara independen. DPS ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN), sebuah badan di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seluruh pedoman produk, jasa layanan dan operasional bank telah mendapat persetujuan DPS untuk menjamin kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah:
1.      Memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah
2.      Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank
3.      Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank
4.      Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya
5.      Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank
6.      Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.





[1]Hermansyah, Hukum perbankan nasional Indonesia,edisi revisi, (Jakarta:Kencana, 2009), hlm.175
[2] Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua”. Kencana. Jakarta. 2011. hlm. 214
[3] Ibid.hlm. 215
[4] Ibid.hlm.218
[5] Ibid.hlm.220
[6] Ibid.hlm.221
[7] Ibid.hlm.221
[8] Ibid.hlm.225
[9] Ibid.hlm.225
[10] Ibid.hlm.225
[11] Ibid.hlm.225
[12] Ibid.hlm.228